Rabu 18 September 2024, Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose dalam rangka menyetujui 6 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif).
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu Mulyadi Nasution alias Mul dari Kejaksaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Kronologi tersebut terjadi pada hari Rabu tanggal 26 Juni 2024 sekira pukul 19.30 WIB, Tersangka yang sedang berada di rumahnya yang beralamat di Dusun Tiga Belas Desa Bandar Sari Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan didatangi oleh Sdr. Nanang (DPO) untuk menjual 1 (satu) unit Handphone android merek INFINIX SMART 6 warna hitam kombinasi warna biru tanpa kotak ataupun kwintansi pembelian, yang mana Handphone tersebut merupakan milik Saksi Eva Solina Sirait yang diambil tanpa izin oleh Sdr. Nanang (DPO).
Kemudian Sdr. Nanang (DPO) menawarkan handphone tersebut kepada Tersangka dengan harga Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah), namun Tersangka tidak memiliki uang dengan nilai tersebut, lalu Tersangka menyanggupi permintaan Sdr. Nanang (DPO) untuk membeli Handphone tersebut dengan harga Rp 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah).
Kemudian Sdr. Nanang (DPO) menyetujui pembelian handphone dengan harga tersebut serta menyerahkan 1 (satu) unit Handphone android merek INFINIX SMART 6 warna hitam kombinasi warna biru tanpa kotak ataupun kwintansi pembelian kepada Tersangka.
Bahwa sepatutnya handphone tersebut diduga merupakan hasil kejahatan karena dijual tanpa kelengkapan seperti kotak dan kwitansi penjualan serta dengan harga yang tidak wajar.
Akibat perbuatan Tersangka, Saksi Korban Eva Solina Sirait mengalami kerugian sebesar Rp 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir Andi Adikawira Putera, S.H., M.H.dan Kasi Pidum Lita Warman, S.H.,M.H.serta Jaksa Fasilitator Genta Patri Putra, S.H., Hade Rachmat Daniel, S.H., M.H., dan Nadini Cista, S.H.menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Setelah itu, Korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hilir mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Riau.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M,H. sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu, 18 September 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 5 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:
Tersangka Hendra bin H. Rustan dari Kejakasaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
Tersangka Fitri Sahrul Gunawan als Alung bin Kadri Busrah dari Kejaksaan Negeri Nunukan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan
Tersangka Ivan Facrial Fuji Muchsin bin Al Juman dari Kejaksaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Tersangka Rahmat Hidayat Hura dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Jo Pasal 5 huruf a dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Tersangka Marganda Tua Pasaribu bin Parlaungan Pasaribu dari Kejakasaan Negeri Kampar, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.
Post A Comment:
0 comments:
Berikan Komentar Terbaik Anda yang Mencerminkan Kredibilitas Anda Untuk Kemajuan NKRI yang Kita Cintai